Siapa
yang tak kenal ondel-ondel yang muncul ketika perayaan hari jadi Jakarta.
Sosoknya yang unik membuat acara Hari Ulang Tahun Jakarta semakin meriah.
Ondel-ondel pun bisa di bilang sebagai maskotnya kota Jakarta, meskipun
perkembangan jaman yang sudah modern sosok ini tidak akan pernah lekang oleh
waktu, setiap warga Jakarta selalu menunggu kehadirannya.
Ondel-ondel
adalah pertunjukan rakyat yang sudah berabad-abad terdapat di Jakarta dan
sekitarnya, yang dewasa ini menjadi wilayah Betawi. Ondel-ondel tergolong salah
satu bentuk teater tanpa tutur, karena pada mulanya dijadikan personifikasi
leluhur atau nenek moyang, pelindung keselamatan kampung dan seisinya. Dengan
demikian dapat dianggap sebagai pembawa lakon atau cerita, sebagaimana halnya
dengan “bekakak” dalam upacara “potong bekakak” digunung gamping disebelah
selatan kota Yogyakarta, yang diselenggarakan pada bulan sapar setiap tahun.
Ondel-ondel
berbentuk boneka besar dengan rangka anyaman bambu dengan ukuran kurang lebih
2,5M, tingginya dan garis tengahnya kurang dari 80 cm. Dibuat demikian rupa
agar pemikulnya yang berada didalamnya dapat bergerak agak leluasa. Rambutnya
dibuat dari ijuk,”duk” kata orang Betawi. Mukanya berbentuk topeng atau kedok,
dengan mata bundar (bulat) melotot.
Ondel-ondel yang menggambarkan laki-laki mukanya bercat merah, yang menggambarkan perempuan bermuka putih atau kuning. Ondel-ondel biasanya digunakan untuk memeriahkan arak-arakan, seperti mengarak pengantin sunat dan sebagainya. Lazimnya dibawa sepasang saja, laki dan perempuan. Tetapi dewasa ini tergantung dari permintaan yang empunya hajat. Bahkan dalam perayaan-perayaan umum seperti ulang tahun hari jadi kota Jakarta, biasa pula dibawa beberapa pasang, sehingga merupakan arak-arakan tersendiri yang cukup meriah. Musik pengiring ondel-ondel tidak tertentu, tergantung masing-masing rombongan. Ada yang diiringi Tanjidor, seperti rombongan ondel-ondel pimpinan Gejen, kampung Setu. Ada yang diiringi gendang pencak Betawi seperti rombongan “Beringin Sakti” pimpinan Duloh (alm), sekarang pimpinan Yasin, dari Rawasari. Adapula yang diiringi Bende, “Kemes”, Ningnong dan Rebana Ketimpring, seperti rombongan ondel-ondel pimpinan Lamoh, kalideres.
Ondel-ondel yang menggambarkan laki-laki mukanya bercat merah, yang menggambarkan perempuan bermuka putih atau kuning. Ondel-ondel biasanya digunakan untuk memeriahkan arak-arakan, seperti mengarak pengantin sunat dan sebagainya. Lazimnya dibawa sepasang saja, laki dan perempuan. Tetapi dewasa ini tergantung dari permintaan yang empunya hajat. Bahkan dalam perayaan-perayaan umum seperti ulang tahun hari jadi kota Jakarta, biasa pula dibawa beberapa pasang, sehingga merupakan arak-arakan tersendiri yang cukup meriah. Musik pengiring ondel-ondel tidak tertentu, tergantung masing-masing rombongan. Ada yang diiringi Tanjidor, seperti rombongan ondel-ondel pimpinan Gejen, kampung Setu. Ada yang diiringi gendang pencak Betawi seperti rombongan “Beringin Sakti” pimpinan Duloh (alm), sekarang pimpinan Yasin, dari Rawasari. Adapula yang diiringi Bende, “Kemes”, Ningnong dan Rebana Ketimpring, seperti rombongan ondel-ondel pimpinan Lamoh, kalideres.
Tak
hanya kota Jakarta saja yang mempunyai sejarah, namun ondel-ondel ini pun
memiliki riwayat sejarahnya. Konon boneka raksasa itu dahulunya sering diarak
keliling kampung oleh warga Betawi. Ternyata awalnya ondel-ondel disebut
Barongan, namun tak ada yang tahu pasti arti kata tersebut. Mungkin berasal
dari kata Barengan yang berarti bareng-bareng atau sama-sama. Sebutan itu
sebenarnya dari kalimat ajakan dalam logat Betawi “nyok, kite ngarak
bareng-bareng, ”. Sejak kapan kemunculannya ondel-ondel ? Namun yang
jelas boneka raksasa ini sudah ada sejak atau bahkan jauh sebelum Vereenigde
Oostindische Compagnie masuk ke Nusantara.
W.
Scot, seorang pedagang asal Inggris mencatat dalam bukunya, jenis boneka
seperti ondel-ondel sudah ada pada tahun 1605. Namun, karena perbedaan
kultur dan budaya, Scot melihat tradisi Betawi terlihat asing dimatanya,
sehingga bentuk penyampaian lisan maupun tulisan hanya berupa gambaran-gambaran
secara kasat mata saja dan mengambil istilah-istilah yang relevan dengan bahasa
bangsanya. Seorang asal Amerika bernama E.R. Schidmore yang datang di Batavia
pada penghujung abad ke 19, melaporkan dalam bukunya, "Java, The Garden of
The East", tentang adanya pertunjukan seni di Betawi berupa tarian-tarian
di jalanan, karena perbedaan latar budaya dan tradisi alhasil Schidmore tidak
menyebut secara jelas apa jenis tarian yang bermain di jalanan itu. Namun dapat
diperkirakan bahwa kesenian itu adalah ondel-ondel, mengingat tarian itu
bermain di jalanan.
Pembuatan
ondel-ondel dengan menerapkan ritual seperti itu masih berlangsung hingga
1980-an. Namun setelah masa itu, proses ritual tersebut mulai ditinggalkan
sejalan dengan bergesernya fungsi ondel-ondel. Seiring perkembangan zaman,
ondel-ondel digunakan untuk menambah semarak pesta-pesta rakyat, hajatan
perkawinan atau khitanan, serta untuk penyambutan tamu kehormatan, semisal pada
peresmian gedung yang baru selesai dibangun. Ketika masa kepemimipinan gubernur
DKI Jakarta Ali Sadikin (1966-1977), ondel-ondel dijadikan sebagai boneka seni
khas Betawi. Ondel-ondel juga menjadi seni pertunjukan rakyat yang
menghibur. Ketika melakukan pertunjukan, dengan menggoyang-goyangkan
badan dan kepala yang menoleh ke kiri dan ke kanan, ondel-ondel sering kali
diiringi musik khas Betawi saeperti tanjidor, pencak Betawi, bende, ningnong,
rebana, dan ketimpring. Ketika wajah kota Jakarta berubah menjadi lebih modern
sekitar 1960-an hingga kini, wajah boneka raksasa itu tampilannya tidak lagi
seram dan berbau mistis. Wajah dan gambaran dari ondel-ondel masa kini tampak
lebih manis dan bersahabat. Hal itu sejalan dengan fungsi ondel-ondel yang
berubah menjadi boneka penghibur bagi semua kalangan, termasuk anak-anak.
Sumber :
http://metro.sindonews.com/read/967261/31/asal-usul-boneka-raksasa-dari-betawi-1424515684
Tidak ada komentar:
Posting Komentar