AKBAR MAULANA
(30415419)
1ID01
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS GUNADARMA
2015/2016
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN BUDAYA BETAWI
1. ASAL USUL
BETAWI
Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis
dan bangsa di masa lalu. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang
Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang
didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan
berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti
orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon, Melayu dan Tionghoa. Diawali
oleh orang Sunda (mayoritas), sebelum abad ke-16 dan masuk ke dalam Kerajaan Tarumanegara
serta kemudian Pakuan Pajajaran. Selain orang Sunda, terdapat pula pedagang dan
pelaut asing dari pesisir utara Jawa, dari berbagai pulau Indonesia Timur, dari
Malaka di semenanjung Malaya, bahkan dari Tiongkok serta Gujarat di
India.
Antropolog Universitas Indonesia, Dr. Yasmine Zaki
Shahab, MA memperkirakan, etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu,
antara tahun 1815-1893. Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi
penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Castle. Di zaman
kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, yang dibuat berdasarkan
bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615
dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada
catatan mengenai golongan etnis Betawi.
Kosa kata “betawi” bukan berasal dari kata “Batavia”.
Batavia merupakan nama Latin untuk Tanah Batavia, yang pada zaman Romawi,
diperkirakan terletak di sekitar kota Nijmegen, Belanda, dimana saat ini
sisa-sisa lokasi tersebut dikenal sebagai “Betuwe”. Selama Renaisans,
sejarawan Belanda mencoba untuk melegitimasi Batavia menjadi sebuah status
"Nenek Moyang" mereka, selanjutnya menyebut diri sebagai Orang-orang
Batavia. Hal ini yang membuat munculnya Republik Batavia, dan mengambil nama
"Batavia" untuk nama koloni mereka. Seperti yang terjadi di
Indonesia, dimana mereka mengganti nama Kota Jayakarta menjadi Batavia dari
tahun 1619-1942.
Setelah 1942 nama Batavia diubah lagi menjadi
Djakarta.
Nama Batavia juga digunakan di Suriname, dan di Amerika Serikat, karena mereka juga mendirikan kota Batavia, Newyork, hingga ke barat Amerika Serikat, seperti; Batavia, Illinois, dekat Chicago, dan Batavia, Ohio, sedangkan penggunaan kata Betawi sebagai sebuah suku, pada masa hindia belanda, diawali dengan pendirian sebuah organisasi yang bernama “Perkoempoelan Kaoem Betawi” pada tahun 1923, yang diprakarsai oleh Husni Thamrin.
Nama Batavia juga digunakan di Suriname, dan di Amerika Serikat, karena mereka juga mendirikan kota Batavia, Newyork, hingga ke barat Amerika Serikat, seperti; Batavia, Illinois, dekat Chicago, dan Batavia, Ohio, sedangkan penggunaan kata Betawi sebagai sebuah suku, pada masa hindia belanda, diawali dengan pendirian sebuah organisasi yang bernama “Perkoempoelan Kaoem Betawi” pada tahun 1923, yang diprakarsai oleh Husni Thamrin.
2. SEJARAH BETAWI
3500 – 3000 SM (Sebelum Masehi)
Abad ke-2
Menurut Yahya Andi Saputra, Jakarta dan sekitarnya termasuk wilayah
kekuasaan Salakanagara yang terletak di kaki Gunung Salak, Bogor.
Abad ke 5
Penduduk asli Betawi adalah rakyat kerajaan Salakanagara, dimana perdagangan dengan Cina telah maju, yang ditandai oleh adanya pengiriman Utusan Dagang ke Cina dari Salakanagara pada tahun 432. Pada akhir abad ke-5 berdiri kerajaan Hindu Tarumanagara di tepi kali Citarum, yang dianggap oleh sebagian sejarawan, bahwa Tarumanagara merupakan kelanjutan dari Kerajaan Salakanagara, yang memindahan ibukota kerajaannya dari kaki Gunung Salak ke Tepi Kali Citarum.Penduduk asli Betawi menjadi rakyat kerajaan Tarumanagara, dengan Ibukota Kerajaan yang terletak di tepi Sungai Candrabagha, yang oleh Poerbatjaraka diidentifikasi dengan sungai Bekasi.
Candra berarti bulan atau sasi, menjadi Bhagasasi / Bekasi, yang terletak di sebelah timur pinggiran Jakarta. Di sinilah, menurut perkiraan Poerbatjaraka, letak istana kerajaan Tarumanengara (Hindu).
Abad ke 5
Penduduk asli Betawi adalah rakyat kerajaan Salakanagara, dimana perdagangan dengan Cina telah maju, yang ditandai oleh adanya pengiriman Utusan Dagang ke Cina dari Salakanagara pada tahun 432. Pada akhir abad ke-5 berdiri kerajaan Hindu Tarumanagara di tepi kali Citarum, yang dianggap oleh sebagian sejarawan, bahwa Tarumanagara merupakan kelanjutan dari Kerajaan Salakanagara, yang memindahan ibukota kerajaannya dari kaki Gunung Salak ke Tepi Kali Citarum.Penduduk asli Betawi menjadi rakyat kerajaan Tarumanagara, dengan Ibukota Kerajaan yang terletak di tepi Sungai Candrabagha, yang oleh Poerbatjaraka diidentifikasi dengan sungai Bekasi.
Candra berarti bulan atau sasi, menjadi Bhagasasi / Bekasi, yang terletak di sebelah timur pinggiran Jakarta. Di sinilah, menurut perkiraan Poerbatjaraka, letak istana kerajaan Tarumanengara (Hindu).
Abad ke-7
Pada abad ke-7 Kerajaan Tarumanagara ditaklukkan Kerajaan Sriwijaya (Budha).
Pada saat inilah berdatangan penduduk Melayu dari Sumatera, kemudian mereka mendirikan pemukiman di pesisir Jakarta, yang kemudian lambat laun (dengan pola asimilasi) bahasa Melayu menggantikan kedudukan bahasa Kawi sebagai bahasa pergaulan sehari-hari. Bahasa Melayu mula-mula hanya dipakai di daerah pesisir saja, namun kemudian meluas hingga ke daerah kaki Gunung Salak dan Gunung Gede. Bagi masyarakat Betawi keluarga punya arti penting. Kehidupan berkeluarga dipandang suci. Anggota keluarga wajib menjunjung tinggi martabat keluarga.
Pada saat inilah berdatangan penduduk Melayu dari Sumatera, kemudian mereka mendirikan pemukiman di pesisir Jakarta, yang kemudian lambat laun (dengan pola asimilasi) bahasa Melayu menggantikan kedudukan bahasa Kawi sebagai bahasa pergaulan sehari-hari. Bahasa Melayu mula-mula hanya dipakai di daerah pesisir saja, namun kemudian meluas hingga ke daerah kaki Gunung Salak dan Gunung Gede. Bagi masyarakat Betawi keluarga punya arti penting. Kehidupan berkeluarga dipandang suci. Anggota keluarga wajib menjunjung tinggi martabat keluarga.
Abad ke-10
Sekitar abad ke-10, terjadi persaingan antara orang
Melayu (Kerajaan Sriwijaya) dengan Wong Jawa yang tak lain adalah Kerajaan
Kediri. Persaingan yang berujung dengan peperang, dimana orang-orang Cina demi
kelangsungan perniagaan mereka, mereka berdiri di dua kaki, atau sebagian
berpihak ke Kerajaan Sriwijaya, dan sebagian berpihak ke KerajaanKediri. Usai
perang, kendali lautan dibagi dua :
- Sebelah barat mulai dari cimanuk, juga pelabuhan sunda dikendalikan sriwijaya
- Sebelah timur mulai dari kediri dikendalikan kediri
Sriwijaya meminta Syailendra di Jawa Tengah
untuk membantu mengawasi perairan teritorial Sriwijaya di Jawa bagian barat.
Tetapi Syailendara lambat-laun tidak sanggup, akhirnya Sriwijaya terpaksa
mendatangkan migran suku Melayu Kalimantan bagian barat ke Kalapa. Pada periode
inilah terjadi penyebaran bahasa Melayu yang signifikan di Kerajaan Kalapa,
karena gelombang imigrasi yang lebih besar daripada penduduk asli yang
menggunakan bahasa Sunda Kawi sebagai lingua franca di Kerajaan Kalapa.
Periode Kolonial Belanda
Abad ke-16
Perjanjian antara Surawisesa (Raja Kerajaan Pajajaran) dengan bangsa Portugis
pada tahun 1512, mengizinkan Portugis untuk membangun suatu komunitas di Sunda
Kalapa, yang mengakibatkan perkawinan campuran antara penduduk lokal dengan
bangsa Portugis, yang pada akhirnya menurunkan darah campuran Portugis.
Dari komunitas campuran inilah lahir musik Keroncong, atau dikenal sebagai
Keroncong Tugu. Setelah VOC menjadikan Batavia sebagai pusat kegiatan niaganya,
VOC memerlukan banyak tenaga kerja untuk membuka lahan pertanian, dan membangun
roda perekonomian kota ini. Saat itulah VOC banyak membeli budak dari penguasa
Bali, karena saat itu di Bali masih berlangsung praktik perbudakan. Oleh
karenanya masih ada tersisa kosa-kata dan tata-bahasa Bali dalam bahasa Betawi
saat ini. Kemajuan perdagangan Batavia menarik berbagai suku bangsa dari
penjuru Dunia, juga seperti; Tiongkok, Arab dan India untuk bekerja di kota
ini.
Pengaruh suku bangsa asing yang datang inilah, terlihat dari busana pengantin
Betawi yang banyak unsur Arab dan Tiongkok. Berbagai nama tempat di Jakarta
menyisakan petunjuk sejarah mengenai datangnya berbagai suku bangsa lain ke
Batavia, seperti; Kampung Melayu, Kampung Bali, Kampung Ambon, Kampung Jawa,
Kampung Makassar dan Kampung Bugis. Rumah Bugis di bagian utara Jl. Mangga Dua
di daerah kampung Bugis yang dimulai pada tahun 1690. Pada awal abad ke 20 ini
masih terdapat beberapa rumah seperti ini di daerah Kota.
Abad ke-20
Menurut Uka Tjandarasasmita penduduk asli Jakarta telah ada sejak 3500-3000 tahun sebelum masehi. Antropolog lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orangRawabelong.Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas (pada saat itu adalah Hindia Belanda), yakni dengan munculnya Perkoempoelan Kaoem Betawi pada tahun 1923, yang digagas oleh Husni Thamrin, sebagai tokoh masyarakat Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi. Ada juga yang berpendapat bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat campuran dalam benteng Batavia yang dibangun oleh Belanda, tetapi juga mencakup penduduk di luar benteng tersebut, yang disebut sebagai masyarakat proto Betawi. Penduduk lokal di luar benteng Batavia, kala itu sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera. Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri pendatang dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi, menjadi warga tuan rumah yang minoritas.Pada tahun 1961, 'suku' Betawi bejumlah kurang lebih 22,9 persen dari + 2,9 juta penduduk Jakarta pada saat itu, hal ini menunjukan orang-orang Betawi semakin terdesak ke pinggiran, bahkan tergusur ke luar Jakarta.
Menurut Uka Tjandarasasmita penduduk asli Jakarta telah ada sejak 3500-3000 tahun sebelum masehi. Antropolog lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orangRawabelong.Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas (pada saat itu adalah Hindia Belanda), yakni dengan munculnya Perkoempoelan Kaoem Betawi pada tahun 1923, yang digagas oleh Husni Thamrin, sebagai tokoh masyarakat Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi. Ada juga yang berpendapat bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat campuran dalam benteng Batavia yang dibangun oleh Belanda, tetapi juga mencakup penduduk di luar benteng tersebut, yang disebut sebagai masyarakat proto Betawi. Penduduk lokal di luar benteng Batavia, kala itu sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera. Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri pendatang dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi, menjadi warga tuan rumah yang minoritas.Pada tahun 1961, 'suku' Betawi bejumlah kurang lebih 22,9 persen dari + 2,9 juta penduduk Jakarta pada saat itu, hal ini menunjukan orang-orang Betawi semakin terdesak ke pinggiran, bahkan tergusur ke luar Jakarta.
3. BAHASA
Karena perbedaan bahasa yang digunakan tersebut
maka pada awal abad ke-20, Belanda menganggap orang yang tinggal di sekitar
Batavia sebagai etnis yang berbeda dengan etnis Sunda dan menyebutnya sebagai
etnis Betawi (kata turunan dari Batavia). Walau demikian, masih banyak nama
daerah dan nama sungai yang masih tetap dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti
kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung
dan kemudian berubah menjadi Cideung dan tearkhir menjadi Cideng), dan
lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno
Bujangga Manik yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford,
Inggris. Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa
Indonesia, bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa
Indonesia dialek Betawi.
4. KEPERCAYAAN
Orang Betawi sebagian besar menganut agama Islam,
tetapi yang menganut agama Kristen; Protestan dan Katholik juga ada namun hanya
sedikit sekali. Di antara suku Betawi yang beragama Kristen, ada yang
menyatakan bahwa mereka adalah keturunan campuran antara penduduk lokal dengan
bangsa Portugis. Hal ini wajar karena pada awal abad ke-16, Surawisesa, raja
Sunda mengadakan perjanjian dengan Portugis yang membolehkan Portugis membangun
benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kalapa sehingga terbentuk komunitas
Portugis di Sunda Kalapa. Komunitas Portugis ini sekarang masih ada dan menetap
di daerah Kampung Tugu, Jakarta Utara
5. KESENIAN
DAN KEBUDAYAAN SUKU BETAWI
Kesenian dan kebudayaan betawi pada awalnya hanya
tumbuh dan berkembang dikalangan kelompok masyarakat yang terbatas, yaitu yang
dikenal sebagai masyarakat betawi. Setelah kota jakarta berkembang pesat
sebagai ibukota negara dan pusat kebudayaan atau gerbang budaya, kesenian dan
kebudayaannya juga ikut berkembang. Berikut ini kesenian dan kebudayaan suku
betawi :
A. Musik
Musik betawi itu menunjukan keanekaragaman cikal baka
masyarakatnya. Contoh dari ciri khas seni suku betawi adalah seni Gambang
Kromong yang berasal dari seni usic Tionghoa, ada pula Rebana yang berakar pada
tradisi usic Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab, dan
Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an. Contoh lain dari seni musik
betawi adalah: orkes gambus, gamelan topeng, musik samrah,
sampyong. Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni Lenong, Gambang Kromong,
Rebana Tanjidor dan Keroncong.
B. Seni Tari
Seni tari di Jakarta merupakan perpaduan antara
unsur-unsur budaya masyarakat yang ada di dalamnya. Contohnya tari Topeng
Betawi, Yapong yang dipengaruhi tari Jaipong Sunda, tari cokek, tari japin,
tari lenggang nyai, tari ngarojeg, tari belenggo dan lain-lain. Pada awalnya,
seni tari di Jakarta memiliki pengaruh Sunda dan Tiongkok, seperti tari Yapong
dengan kostum penari khas pemain Opera Beijing. Namun Jakarta dapat dinamakan daerah
yang paling dinamis. Selain seni tari lama juga muncul seni tari dengan gaya
dan koreografi yang dinamis.
C. Seni Teater
Teater tradisional Betawi antara lain Lenong dan
Tonil. Pementasan lakon tradisional ini biasanya menggambarkan kehidupan sehari-hari
rakyat Betawi, dengan diselingi lagu, pantun, lawak, dan lelucon jenaka.
Kadang-kadang pemeran lenong dapat berinteraksi langsung dengan penonton.
Teater dalam suku betawi dibagi menjadi 2 yaitu: teater tanpa tutur dan teater
peran. Contoh teater tanpa tutur adalah: ondel-ondel, gemblokan, rancaq, dan
lain-lain. Sedangkan contoh teater peran adalah : topeng, jipeng, lenong,
sahibul hikayat.
D. Cerita Rakyat
Cerita rakyat yang berkembang di Jakarta selain cerita
rakyat yang sudah dikenal seperti Si Pitung, juga dikenal cerita rakyat lain
seperti serial Jagoan Tulen atau si jampang yang mengisahkan jawara-jawara
Betawi baik dalam perjuangan maupun kehidupannya yang dikenal “keras”. Selain
mengisahkan jawara atau pendekar dunia persilatan, juga dikenal cerita Nyai
Dasima yang menggambarkan kehidupan zaman Kolonial
E. Pakaian Adat
Pakaian adat Betawi banyak dipengaruhi oleh berbagai
negara lain. Hal itu dikarenakan Betawi adalah pencampuran budaya dari berbagai
negara. Ada beberapa macam pakaian Betawi yang ada saat ini diantaranya adalah
pakaian adat Betawi sehari-hari untuk laki laki adalah baju Koko atau disebut
Sadariah. Baju Koko Betawi berwarna polos, memakai celana batik berwarna putih
atau hitam, memakai selendang yang dipakai dipundak dan peci hitam sebagai
identitas Kebetawian. Pakaian adat untuk perempuan yang dipakai sehari-hari
yaitu baju kurung berlengan pendek, kain sarung batik, kerudung.
Selain itu, ada juga pakaian adat untuk pengantin
laki-laki masyarakat Betawi yang dipengaruhi oleh kebudayaan Arab, Melayu dan
Cina yaitu Dandanan care haji. Pakaian ini adalah jubah dan tutup kepala dan
diadaptasi dari pakaian haji. Jubah terbuat dari bahan beludru sedangkan tutup
kepala terbuat dari sorban yang disebut juga alpie. Untuk pakaian pengatin perempuan
di Betawi disebut rias besar dandanan care none pengantin cine. Pakaian ini
juga sedikitnya mirip dengan pakaian pengantin perempuan di Cina. Pakaian
pengantin yang dipakai oleh kalangan bangsawan di Cina.
E. Rumah Adat
Sebutan rumah kebaya bagi rumah adat betawi sebetulnya
berasal dari kontruksi atap rumah ini yang jika dilihat dari samping memiliki
lipatan-lipatan mirip lipatan kain kebaya. Kain kebaya sendiri merupakan kain
tradisional betawi yang hingga kini sering dikenakan para wanita betawi pada
saat upacara-upacara adat mereka.
F. Makanan dan Minuman Betawi
Dalam warisan turun temurun suku betawi juga memiliki
makanan dan minuman khasnya. Makanan khas betawi contohnya: getuk lindri, kue
kembang goyang, roti gambang, roti buaya, ongol-ongol, kerak telor, soto
betawi, nasi ulam, dan lain-lain. Sedangkan contoh dari minuman khas betawi
adalah: es slendang mayang, bir pletok, es doger. Saat ini makanan dan minuman
betawi yang masih kerap dijumpai adalah kerak telor, nasi ulam, es doger, dan lain-lain.
Ditinjau dari sejarahnya, Jakarta
memiliki perjalanan yang sangat panjang, serta memiliki nilai sejarah yang
sangat tinggi. Bahkan, dalam perkembangannya dari dulu hingga sekarang, Jakarta
berkembang dengan pesat, terutama dari segi perekonomian dan pembangunan.
Selain dari sejarahnya yang panjang, Jakarta pun memiliki kesenian dan
kebudayaan yang dikenal dengan Betawi. Kesenian dan kebudayaan Jakarta, dalam
proses perkembangannya pun, terutama di masyarakat modern bisa dikatakan kian
hari kian hilang. Hal ini disebabkan dari pesatnya teknologi dan budaya Barat
yang sudah menjamur. Untuk itu, sudah sepatutnya kita menjaga dan melestarikan
kebudayaan yang ada di Indonesia khususnya kebudayaan Betawi yang ada di
Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA :
Nirwanto Ki
S. Hendrowinoto. 1998. Seni Budaya Betawi Menggiring Zaman. Jakarta:
Dinas Kebudayaan DKI Jakarta
Wijaya,
Hussein (ed.). 1976. Seni Budaya Betawi. Pralokarya Penggalian Dan
Pengem¬bangannya. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya